Senin, 06 Mei 2013

Kenangan Ceritaku : Bunga Terindah



Selepas shalat subuh, kulihat jam dinding menunjukkan angka 05.45 WIB, maka kuurungkan niat untuk pergi jalan-jalan. Suatu kebiasaanku di hari Minggu pagi adalah menyempatkan pergi jalan-jalan keliling kampung untuk sekedar berolahraga. Waktu itu kuganti untuk berolahraga ringan saja dihalaman rumah. Dan aku pergi ke halaman yang berada disebelah barat rumahku.
Kulihat titik-titik embun pada bunga merah terawang itu menyatu menjadi setetes embun yang mengalir dari daun ke daun. Daun-daun menjadi basah dan tetes embun itu jatuh ketanah. Begitu pula tanah di pagi hari bersama pepohonan berbaur menjadi satu menebarkan kesejukan dan terasa lengkap dengan hangatnya sinar matahari yang tak pernah meninggalkan hari. Menikmati kesejukan khas di alam katulistiwa, itulah salah satu keistimewaan alam Indonesia. Syukur tiada terkira aku hidup di atas zamrud katulistiwa yang menyediakan beragam flora dan fauna.
              Pandanganku kembali pada sebatang tanaman yang berteduh dibawah pohon beringin berukuran 1 meter lebih yang tengah berusia 12 tahun itu. Sebatang tanaman bonsai berusia 5 tahun lebih itu memiliki dua warna bunga. Tanaman bonsai ini aku rekayasa bersama ibuku dengan menggabungkan dua tanaman sejenis yang berbeda warna, yaitu merah dan putih. Seperti warna bendera Indonesia bukan? Aku pun tersenyum.
Tanaman berbunga bernama Phera Bougenvil itu begitu istimewa bagiku. Ingatanku kembali pada tiga tahun lebih yang lalu (silam), aku memberi nama tanaman itu. Sebuah nama yang terinspirasi dari seekor anak ayam yang ku beri nama Phera.
“.. Phera, sini kamu ayo main...!!” ajakku layaknya orang gila berbicara dengan hewan dan memberinya nama. Kakakku tersenyum kecut melihatku yang sedari tadi menghiraukan sapaannya kepadaku.“ Kamu beri nama ayam itu Phera? Seperti orang saja” katanya. Kubalas pertanyaannya dengan senyum kecut pula. Kemudian aku kembali bermain dengannya.
Phera mungil nan imut itu masih jelas dingatanku kini. Bulunya yang berwarna putih kekuningan di bagian bawah dan hitam dibagian punggung dan disekitar lingkar mata. Sayap kecilnya akan selalu mengepak-epak ketika kubawa ia dengan tanganku, ku ayunkan ia dari atas ke bawah. Ku terbangkan ia seakan-akan melepasnya ke udara dari tanganku, walau kenyataannya tak tega. Ku tutup tubuhnya dengan dua telapak tangaku untuk sekedar menghangatkannya. Ku ajak berlari dia dan selalu mengikuti kemana arah pergiku. Dan, begitu banyak caraku untuk menghiburnya setelah ia di tinggal mati induk dan saudaranya.
Kala itu virus flu burung yang sering disebut H5N1 sedang mewabah diberbagai wilayah di negeri ini. Di kampung daerahku ada sebuah kandang berisi ratusan ayam broiler, setengahnya mati akibat wabah ini. Ayam milik tetangga mati di sembarang tempat, banyak dari mereka mengungkapkan kekesalannya. Bahkan ayam peliharaanku yang berjumlah 5 pangkat 2 itu, kemudian kehilangan satu pangkatnya. Artinya, tinggal 5 pangkat 1 ekor ayam. Hatiku miris, begitu cepatnya wabah ini menyebar bahkan dapat menular ke tubuh manusia. Miris juga melihat Phera yang masih berusia 9 hari hidup sendiri. Empat ayam lainnya berusia 1 bulan dan tentunya berbeda induk dengan Phera, mereka tak bisa mengasuhnya. Bagaimana pun akan lebih merasa kasihan jika itu terjadi pada manusia.
Tiga hari lamanya Phera dan empat ekor ayam lainnya ku pelihara tanpa induknya. Ku beri mereka makan berupa nasi hangat yang katanya dapat menyehatkan tubuh ayam yang sedang sakit, juga beras agar mereka tidak bosan. Ku rawat mereka dengan kasih sayang. Menjaganya dan berharap mereka tumbuh hingga dewasa sampai menetaskan ayam-ayam baru menggantikan ayam-ayam sebelumnya.
Sepulang sekolah, kulempar tasku ke atas tempat tidur. Sepatuku kuletakkan di rak. Lalu kuhempaskan diri ke tempat tidur, tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Melamun entah apa yang dipikiranku saat itu. Sejenak teringat ayam kecil yang sedari pagi tadi tak ku temui. Keganjalan itu kemudian aku tanyakan pada ibuku yang sedang memangkas tanaman.
“Bu, Phera si ayam kecil itu dimana?” tanyaku.
“ Aku tidak tahu, mungkin di pawon. Belum lama tadi kuberi makan, mungkin masih di sana,” jawabnya. Aku langsung beranjak ke pawon. Tiba-tiba saja kulihat ekor kecil yang tidak terlalu panjang di balik kandang Phera. Mengetahui gerah-gerikku hewan pengerat itu pergi berlarin bersama Phera di gigitan eratnya. Maka ku angkat tinggi-tinggi dan seakan ku pukul keras-keras sapu yang tengah aku pegang pada si Pengerat itu. Pukulanku hampir mengenai tubuhnya, namun tak apa bagiku karena ia telah melepas gigitan eratnya. Si Pengerat itu telah membawa lari Phera sejauh 2 meter dari kandangnya. Ku bawa Phera ke dalam kandangnya dengan berbagai luka ditubuhnya. Ia merasakan kesakitan yang teramat perih danbelum pernah aku alami. Tak ada yang bisa aku lakukan, Phera meninggal 2 jam setelah itu. Ku lihat bening di kelopak matanya yang perlahan terpejam. Ku ikhlaskan nyawanya pergi bersama angin yang menerpakala itu.
Sedangkan, aku pun kembali tak tahu apa yang harus aku lakukan.Hanya saja kuambil cethok, air, dan ember. Ya, Disinilah Phera akan berteduh menuju alam yang belum menjadi duniaku. Ku tinggalkan tanah dan tanaman basah itu usai ku kubur Phera di dalamnya. Maka resmilah bunga itu kuberi nama Phera Bougenvil dan hingga kini aku selalu menyebut tanaman itu Phera Bouganvil pula.
Kini tanaman bonsai itu semakin membesar batangnya walau tingginya tak kunjung ubah menjadi lebih tinggi, karena rajin kupangkas pucuknya. Kujadikan ia tanaman abadi yang selalu menampilkan mahkota merah-putih layaknya bunga Istimewa di depan rumahku. Dan kini pula tersadar olehku bahwa hari semakin siang, alangkah baiknya bila kuambil air dan kusiram pada tanaman yang istimewa ini.

Tidak ada komentar: