Selepas shalat
subuh, kulihat jam dinding menunjukkan angka 05.45 WIB, maka kuurungkan niat
untuk pergi jalan-jalan. Suatu kebiasaanku di hari Minggu pagi adalah
menyempatkan pergi jalan-jalan keliling kampung untuk sekedar berolahraga.
Waktu itu kuganti untuk berolahraga ringan saja dihalaman rumah. Dan aku pergi
ke halaman yang berada disebelah barat rumahku.
Kulihat titik-titik embun pada bunga merah terawang itu menyatu menjadi
setetes embun yang mengalir dari daun ke daun. Daun-daun menjadi basah dan
tetes embun itu jatuh ketanah. Begitu pula tanah di pagi hari bersama pepohonan
berbaur menjadi satu menebarkan kesejukan dan terasa lengkap dengan hangatnya
sinar matahari yang tak pernah meninggalkan hari. Menikmati kesejukan khas di
alam katulistiwa, itulah salah satu keistimewaan alam Indonesia. Syukur tiada
terkira aku hidup di atas zamrud katulistiwa yang menyediakan beragam flora dan
fauna.
Pandanganku kembali pada sebatang tanaman
yang berteduh dibawah pohon beringin berukuran 1 meter lebih yang tengah
berusia 12 tahun itu. Sebatang tanaman bonsai berusia 5 tahun lebih itu memiliki
dua warna bunga. Tanaman bonsai ini aku rekayasa bersama ibuku dengan
menggabungkan dua tanaman sejenis yang berbeda warna, yaitu merah dan putih.
Seperti warna bendera Indonesia bukan? Aku pun tersenyum.
Tanaman berbunga bernama Phera
Bougenvil itu begitu istimewa bagiku. Ingatanku kembali pada tiga tahun
lebih yang lalu (silam), aku memberi nama tanaman itu. Sebuah nama yang
terinspirasi dari seekor anak ayam yang ku beri nama Phera.
“.. Phera, sini kamu ayo main...!!” ajakku layaknya orang gila berbicara
dengan hewan dan memberinya nama. Kakakku tersenyum kecut melihatku yang sedari
tadi menghiraukan sapaannya kepadaku.“ Kamu beri nama ayam itu Phera? Seperti
orang saja” katanya. Kubalas pertanyaannya dengan senyum kecut pula. Kemudian
aku kembali bermain dengannya.
Phera mungil nan imut itu masih jelas dingatanku kini. Bulunya yang
berwarna putih kekuningan di bagian bawah dan hitam dibagian punggung dan
disekitar lingkar mata. Sayap kecilnya akan selalu mengepak-epak ketika kubawa
ia dengan tanganku, ku ayunkan ia dari atas ke bawah. Ku terbangkan ia
seakan-akan melepasnya ke udara dari tanganku, walau kenyataannya tak tega. Ku tutup
tubuhnya dengan dua telapak tangaku untuk sekedar menghangatkannya. Ku ajak
berlari dia dan selalu mengikuti kemana arah pergiku. Dan, begitu banyak caraku
untuk menghiburnya setelah ia di tinggal mati induk dan saudaranya.
Kala itu virus flu burung yang sering disebut H5N1 sedang mewabah diberbagai
wilayah di negeri ini. Di kampung daerahku ada sebuah kandang berisi ratusan
ayam broiler, setengahnya mati akibat wabah ini. Ayam milik tetangga mati di sembarang
tempat, banyak dari mereka mengungkapkan kekesalannya. Bahkan ayam peliharaanku
yang berjumlah 5 pangkat 2 itu, kemudian kehilangan satu pangkatnya. Artinya,
tinggal 5 pangkat 1 ekor ayam. Hatiku miris, begitu cepatnya wabah ini menyebar
bahkan dapat menular ke tubuh manusia. Miris juga melihat Phera yang masih
berusia 9 hari hidup sendiri. Empat ayam lainnya berusia 1 bulan dan tentunya
berbeda induk dengan Phera, mereka tak bisa mengasuhnya. Bagaimana pun akan
lebih merasa kasihan jika itu terjadi pada manusia.
Tiga hari lamanya Phera dan empat ekor ayam lainnya ku pelihara tanpa
induknya. Ku beri mereka makan berupa nasi hangat yang katanya dapat
menyehatkan tubuh ayam yang sedang sakit, juga beras agar mereka tidak bosan.
Ku rawat mereka dengan kasih sayang. Menjaganya dan berharap mereka tumbuh
hingga dewasa sampai menetaskan ayam-ayam baru menggantikan ayam-ayam
sebelumnya.
Sepulang sekolah, kulempar tasku ke atas tempat tidur. Sepatuku kuletakkan
di rak. Lalu kuhempaskan diri ke tempat tidur, tanpa mengganti seragam terlebih
dahulu. Melamun entah apa yang dipikiranku saat itu. Sejenak teringat ayam
kecil yang sedari pagi tadi tak ku temui. Keganjalan itu kemudian aku tanyakan
pada ibuku yang sedang memangkas tanaman.
“Bu, Phera si ayam kecil itu dimana?” tanyaku.
“ Aku tidak tahu, mungkin di pawon. Belum lama tadi kuberi makan, mungkin
masih di sana,” jawabnya. Aku langsung beranjak ke pawon. Tiba-tiba saja kulihat
ekor kecil yang tidak terlalu panjang di balik kandang Phera. Mengetahui
gerah-gerikku hewan pengerat itu pergi berlarin bersama Phera di gigitan
eratnya. Maka ku angkat tinggi-tinggi dan seakan ku pukul keras-keras sapu yang
tengah aku pegang pada si Pengerat itu. Pukulanku hampir mengenai tubuhnya,
namun tak apa bagiku karena ia telah melepas gigitan eratnya. Si Pengerat itu
telah membawa lari Phera sejauh 2 meter dari kandangnya. Ku bawa Phera ke dalam
kandangnya dengan berbagai luka ditubuhnya. Ia merasakan kesakitan yang teramat
perih danbelum pernah aku alami. Tak ada yang bisa aku lakukan, Phera meninggal
2 jam setelah itu. Ku lihat bening di kelopak matanya yang perlahan terpejam.
Ku ikhlaskan nyawanya pergi bersama angin yang menerpakala itu.
Sedangkan, aku pun kembali tak tahu apa yang harus aku lakukan.Hanya saja
kuambil cethok, air, dan ember. Ya, Disinilah Phera akan berteduh menuju alam
yang belum menjadi duniaku. Ku tinggalkan tanah dan tanaman basah itu usai ku
kubur Phera di dalamnya. Maka resmilah bunga itu kuberi nama Phera Bougenvil
dan hingga kini aku selalu menyebut tanaman itu Phera Bouganvil pula.
Kini tanaman bonsai itu semakin membesar batangnya walau tingginya tak
kunjung ubah menjadi lebih tinggi, karena rajin kupangkas pucuknya. Kujadikan
ia tanaman abadi yang selalu menampilkan mahkota merah-putih layaknya bunga
Istimewa di depan rumahku. Dan kini pula tersadar olehku bahwa hari semakin
siang, alangkah baiknya bila kuambil air dan kusiram pada tanaman yang istimewa
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar